Sumber : Dokumentasi Pribadi
Tools berikutnya yang akan dibahas adalah Adversity Quotient atau kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Tools ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Paul G. Stolz. Dalam penilaian ini, orang-orang dengan AQ tinggi akan semakin pandai mengubah hambatan menjadi peluang yang akan mengantarkan mereka lebih cepat kepada kesuksesan.
Menurut penulisnya, AQ bisa meramalkan kinerja, kesehatan emosional, motivasi, kesehatan jasmani, pemberdayaan, ketekunan, kreativitas, daya tahan, produktivitas, perbaikan sedikit demi sedikit, pengetahuan, tingkah laku, energi, umur panjang, pengharapan, respon terhadap perubahan, kebahagiaan, vitalitas dan kegembiraan.
Dalam bukunya tersebut, Prof. Stolz merumuskan bahwa AQ (Adversity Quotient) adalah penjumlahan dari CO2RE (C+Ow+Or+R+E). Di mana C adalah control, O2 (Ow+Or) merupakan Origin – asal usul dan Ownership – pengakuan. R yaitu Reach dan E adalah Endurance
C – Control adalah berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kontrol/kendali merupakan dimensi penting dalam teori optimisme. Kendali berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh dan mempengaruhi dimensi CO2RE lainnya. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu – apa pun itu – dapat dilakukan. Sehingga orang dengan C yang tinggi akan selalu percaya bahwa pasti ada yang bisa dilakukan untuk keluar dari sebuah kesulitan.
O2 (Ow dan Or) – Origin dan Ownership merupakan penjelasan tentang asal usul dan pengakuan. O2 membahas mengenai siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat dari kesulitan tadi. Origin berkaitan dengan rasa bersalah, yang bila diperlakukan sesuai proporsinya akan menghasilkan 2 fungsi penting, yaitu membuat kita belajar dan memotivasi untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Dalam hal ini, orang dengan nilai origin yang tinggi akan berusaha mencari cara untuk memperbaiki kesalahannya. Sementara, ownership berhubungan dengan sikap saat menghadapi masalah. Sehingga orang dengan nilai ownership tinggi akan makin mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun sebabnya. Dan mengambil tanggung jawab untuk membereskannya.
R – Reach berkaitan dengan pertanyaan mengenai sejauh mana kesulitan yang terjadi akan menjangkau bagian-bagian lain dalam kehidupan seseorang. Sehingga semakin tinggi nilai Reach seseorang, semakin mampu dalam melokalisir potensi masalah yang dihadapi.
E – Endurance berhubungan dengan hal berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan terus mempengaruhi. Sehingga jelas, makin tinggi nilai endurance seseorang, akan semakin yakin bahwa setiap kesulitan yang terjadi hanya akan berlangsung sebentar dan bukan selamanya.
Hasil penjumlahan beberapa dimensi di atas tadi akan menghasilkan nilai Adversity Quotient atau AQ. HAsil AQ ini bisa diterjemahkan menjadi beberapa kategori, yaitu Quitters (mereka yang berhenti), Campers (mereka yang berkemah) dan Climbers (mereka yang mendaki).
Quitters (Mereka yang berhenti)
Orang-orang yang memiliki AQ rendah masuk dalam kategori ini. Mereka mudah sekali menyerah, apatis, tidak berani bertanggung jawab dan mengambil kendali. Mereka lebih memilih keluar dari suatu situasi yang sulit dari pada menghadapi konsekuensinya.
Campers (Mereka yang Berkemah)
Meskipun memilih berhenti, saat merasa sudah di puncak kemampuan mereka, para campers lebih baik dari Quitters, karena mereka telah menyambut tantangan perjalanan menuju kesuksesan. Namun, kesuksesan yang dicapai disesuaikan dengan definisi mereka sendiri, dan biasanya berhubungan dengan rasa nyaman yang diinginkan. Meskipun merasa sukses, para campers sebenarnya hanya memenuhi kebutuhan dasar dan mengorbankan puncak hirarki Maslow yaitu aktualisasi diri. Tapi, ini sudah cukup bagi mereka.
Climbers (Mereka yang Mendaki)
Si pendaki adalah sebutan untuk orang yang selalu membaktikan dirinya pada pendakian. Mereka akan selalu menyambut setiap tantangan untuk meraih kesuksesan. Juga selalu menggapai impian-impian yang sudah ditentukan. dari ketiga jenis individu tadi, climbers memang yang menjalani hidupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang dikerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan merasakan gairahnya. Mereka juga mengetahui perasaan gembira yang sebenarnya dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan.
Dan bila tiga kategori ini sulit dibayangkan sebagai penggolongan bagi anak-anak, Tim Fasilitator Bunda Sayang Leader Batch #4 punya istilah lain yang lebih sesuai. Yaitu
Bola Besi
Anak yang terlalu keras dihadapkan dengan beban berat tanpa pemahaman dan pendampingan akan mudah emosi, bersikap keras dan beresiko merusak sekitarnya. Bayangkan jika bola besi jatuh ke lantai, maka lantai pun akan pecah.
Bola Kaca
Anak yg dibesarkan dengan penuh rasa perlindungan tinggi (over protective) akan mudah rapuh saat ia jatuh, karena tak terbiasa menghadapi kesulitan.
Bola Karet
Anak yang dibesarkan dengan tarik ulur dalam mengontrolnya, diberikan kesempatan untuk mandiri dan bertanggung jawab atas pekerjaannya. Jika anak tipe ini “jatuh” maka akan mudah melenting dan bangkit dari kesulitan
Tes untuk mengukur nilai AQ ini bisa dilihat dan diakses dalam buku Prof. Stolz baik yang asli maupun terjemahan. Namun, ternyata ada pula versi singkatnya yang bisa diakses di sini yang akan membantu memahami nilai AQ seseorang. Namun, bisa jadi pertanyaan dalam tes-tes tersebut, belum bisa sepenuhnya dipahami oleh anak-anak. Sehingga harus difasilitasi dengan penjelasan dalam bahasa yang lebih bisa dimengerti oleh mereka.
Bila sudah memperoleh hasil untuk nilai AQ ini, jangan bersedih untuk mereka yang memiliki nilai rendah. Karena AQ bukanlah angka pasti, melainkan bisa diperbaiki dan ditingkatkan. Cara yang ditawarkan penggagas AQ adalah melalui teknik LEAD Listen-Establish Accountability-Analyze-Do. Yaitu tahapan-tahapan untuk :
Listen – mendengarkan respon diri terhadap kesulitan yang terjadi.
Kemudian Establish accountability – menganalisa hal-hal apa yang bisa dilakukan (termasuk terhadap kemungkinan yang paling kecil) untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.
Setelah itu melakukan Analyze evidence – mencari bukti mengenai apa yang sedang terjadi sekaligus memisahkan antara fakta dan asumsi.
Selanjutnya Do Something, atau melakukan beberapa tindakan yang bisa dilakukan dengan dasar CORE yang telah didata di tahap sebelumnya.
Bila teknik LEAD ini dianggap rumit untuk meningkatkan AQ anak-anak, cara yang lebih bisa diterapkan untuk kategori mereka, bisa dibaca dalam salah satu camilan yang diberikan Tim Fasilitator Bunsay Batch #4, yaitu :
- AQ on TV : belajar menarik hikmah dari karakter tayangan di televisi melalui penajaman indera penglihatan
- AQ on radio : belajar menajamkan indera pendengaran dan memperhatikan bagaimana seseorang mendeskripsikan sesuatu hingga tervisualisasi gambaran topik acara yang disampaikan
- AQ in conversation : belajar menyimak diskusi
- Reading for AQ : belajar bagaimana karakter penulis
- AQ in art : belajar bagaimana orang berkomunikasi melalui seni
- AQ on the net : eksplor iklan dan analisa bahasa yang digunakan orang lain untuk mempromosikan bisnisnya
Referensi :
- Stoltz, PhD, Paul, 2000, “Adversity Quotient – Mengubah Hambatan Menjadi Peluang” Grasindo, Jakarta.
- http://quickstart-indonesia.com/adversity-quotient-aq-untuk-kesuksesan/
- http://quickstart-indonesia.com/mengukur-adversity-quotient-aq-bagian-1/
- http://quickstart-indonesia.com/mengukur-adversity-quotient-aq-bagian-2/
- http://www.limitless-abundance-life.com/2015/05/adversity-quotient-kecerdasan.html
- Materi dan camilan dari Tim Fasilitator Bunda Sayang
No Responses