Berlatih Mindfulness Untuk Me-release Luka Hati

Berlatih Mindfulness Untuk Me-release Luka Hati

Mengenal Diri

 

Saat flyer Persik-Mindfulness Journey tertangkap fokus pandang, langsung merasa, inilah yang sedang saya butuhkan. Sejujurnya, saat itu saya memang sedang tidak baik-baik saja. Saya masih terjebak oleh perasaan terluka akibat ulah seseorang. Sehingga setiap ada momen yang mengingatkan saya pada seseorang yang menyebabkan luka tersebut, saya langsung merespon. Sebenarnya, buat banyak orang respon yang saya tunjukkan masih dalam batas wajar. Sebab saya hanya menangis terisak-isak tanpa tindakan merusak diri. Namun, bagi saya pribadi respon tersebut tetap berlebihan.

Sepanjang hidup –dengan ratusan kali pembelajaran menyikapi luka hati– saya biasanya selalu mampu menempatkan diri pada fase memaafkan dan mengambil hikmah dari setiap kejadian maupun seseorang yang membuat luka. Sehingga bisa tetap tenang dan tidak terganggu, meskipun selalu berinteraksi dengan sang penyebab luka atau diingatkan dengan kejadian yang membuat luka tersebut.

Ketika kali ini mendapati luka tersebut selalu berdarah dan dengan kadar kemarahan yang sama saat fase awal, saya langsung merasa ada yang salah dalam diri. Sebab, respon saya terhadap luka hati kali ini, bukan respon saya yang biasanya. Atau dengan kata lain, respon yang “bukan saya banget”. Saya marah dengan keparahan level tinggi yaitu menangis terisak-isak hingga dada sesak. Bahkan membuat saya jatuh dalam ketidaksadaran diri (pingsan). Tentu saja saya kebingungan dengan respon seperti itu. Saya terus berusaha mencari penyebab, apa yang menyebabkan saya hingga berada pada titik tidak bisa mengendalikan kemarahan diri. Sementara sebelumnya, saya selalu mampu meredam emosi dan melakukan respon level up sendiri dengan cepat.

Syukurlah, dengan materi dan penjelasan dari pemateri pertama Persik-Mindfulness Journey sesi pertama –Mba Michelle Ronida– saya mulai bisa menemukan penyebab utama kemarahan yang tidak terkendali tersebut. Yaitu, sikap seseorang yang mencoba menghancurkan banyak hal yang sudah susah payah saya bangun bersama pasangan. Kepercayaan, komitmen terhadap kesepakatan, pengertian dan saling keterbukaan antara saya dan pasangan, adalah hal-hal yang dia coba hancurkan. Memang dia tidak berhasil. Namun, upayanya tersebut benar-benar mempengaruhi emosi saya. Sehingga akibatnya, respon saya bukan respon yang biasanya berlaku.

 

Deteksi Respon Eror

 

Langkah pertama untuk bisa me-release luka hati, adalah mengenal diri. Mengenal diri di sini adalah memahami sikap dan tindakan diri dalam merespon sesuatu. Menangis ketika sedih, marah atau kecewa, biasanya merupakan respon normal kebanyakan orang. Sehingga bisa disebut respon eror jika ada tindakan yang membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain, ketika merespon sesuatu.

Seperti yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya respon saya menyikapi sesuatu yang melukai hati dengan menangis, masih dalam batas wajar. Namun, menjadi tidak normal dalam standar saya. Sebab, hingga bilangan bulan, saya masih tetap saja menangis terisak-isak akibat teringat kejadian yang melukai hati. Dan itu memang bukan saya banget. Sehingga melalui tabel deteksi respon eror, saya berusaha mencari penyebab utama dan menentukan langkah untuk melakukan respon level up.

Seperti inilah hasil kontemplasi saya mendeteksi respon eror.

sumber gambar : dokumentasi pribadi

 

Yup, setelah proses kontemplasi, saya menjadi paham penyebab utama kemarahan yang membuat respon saya menjadi respon yang “bukan saya banget”. Yaitu, tindakan seseorang yang mencoba menghancurkan beberapa hal yang sudah saya bangun bersama pasangan. Beberapa tatanan yang dia coba rusak adalah kepercayaan, komitmen terhadap kesepakatan, pengertian dan saling keterbukaan antara saya dan pasangan.

Apa yang dilakukannya benar-benar merusak tatanan yang sudah kami –saya dan suami– bangun selama ini. Tatanan yang selama lebih dari 20 tahun, dibangun dengan banyak upaya dan toleransi. Jadi, sebenarnya wajar jika emosi saya menjadi tidak terkendali, saking marahnya.

Namun, lagi-lagi kehidupan yang saya jalani, mengajarkan bahwa bukan seperti itu seharusnya. Sehingga hal wajar buat banyak orang, menjadi sesuatu yang mengganggu kenyamanan hidup saya. Merupakan sesuatu yang harus diurai supaya bisa di-relase kemudian diterima dan akhirnya dimaafkan (bukan dilupakan). Sehingga meskipun melihat orangnya –bahkan berinteraksi dengannya– atau mengingat kejadiannya, tidak akan membuka luka hati dan menghasilkan respon tangisan berlebihan lagi.

 

Respon Level Up

 

Untuk bisa me-release luka hati, kita harus memberikan respon level up. Maksudnya respon yang wajar atau bahkan bisa membuat kita bersyukur sudah mampu melaluinya. Memang tidak akan mudah. Apalagi, yang menyebabkan luka hati saya, adalah sesuatu yang masuk kategori fundamental dalam hubungan saya dengan pasangan. Sehingga seperti saat membangun tatanannya, untuk bisa melakukan respon level up terhadap luka hati yang berupaya menghancurkan tatanan ini, pasti butuh waktu lebih panjanh.

Langkah pertama melakukan respon level up, adalah melakukan jeda. Jadi, ketika melihat sesuatu atau menerima informasi yang mengingatkan luka hati, saya akan berdiam diri sebentar sambil beristigfar. Kemudian baru memberikan respon.

Selama beberapa hari kemarin berlatih, saya masih menangis saat memberikan respon –meskipun bukan lagi tangisan yang menyesakkan dada–. Begitu juga ketika saya dengan sengaja menghadirkan ingatan tentang luka hati tersebut setelah salat, tangisan saya makin berkurang intensitasnya. Sebab, belajar dari pengalaman, saat setelah salat –ketika hati masih terikat dengan Allah– merupakan waktu yang lebih memudahkan untuk me-release emosi tersebut.

Selain istigfar, saya juga berusaha melafazkan mantra penguat diri. Mantra dari ibunda tercinta, founder Ibu Profesional –Ibu Septi Peni Wulandani– memberi saya kekuatan untuk melepaskan tanggung jawab diri atas sikap dan tindakan orang lain. Sehingga mudah-mudahan saya akan lebih cepat menerima luka hati tersebut sebagai bagian dari perjalanan hidup.

Ini mantra ajaib dari Ibu Septi Peni Wulandani (mungkin bunyinya tidak persis seperti ini, tetapi maksudnya tetap sama): “Tak ada yang bisa menyakiti kita, jika kita tidak mengizinkannya”

 

Sumber gambar: Dokumentasi pribadi

 

Jadi, sambil mengingat kejadian dan orang yang saya anggap sudah membuat hati terluka, saya beristigfar sambil mengucap mantra tersebut. Semoga dengan begitu saya bisa melepaskan kendali orang tersebut atas respon  saya terhadap kejadian yang membuat luka.

Mungkin butuh lebih banyak waktu lagi buat saya berlatih respon level up ini. Namun, saya yakin dengan kesungguhan diri dan dukungan keluarga juga, saya akan bisa melaluinya. Dan akhirnya bisa sampai ke fase menerima – memaafkan dan mengambil hikmah juga, seperti saya yang biasanya lagi.

 

Catatan Akhir

 

Sepertinya, tantangan kali ini merupakan tantangan yang jauh lebih berat dibanding biasanya. Sehingga saat menerimanya, saya belum mampu dan menjadi terluka begitu dalam. Akibatnya butuh waktu lebih panjang, hanya untuk memahami kaitan antara masing-masingnya.

Namun, dengan mengenali penyebab utama, memang membuat saya lebih bisa memahami urutan prosesnya. Sehingga bisa menemukan cara untuk melakukan respon level up nya juga. Akhirnya, hanya waktu yang saya butuhkan untuk sembuh dari luka hati yang menyesakkan dada ini.

Semoga Allah Swt memberikan kemudahan buat saya menjalaninya. Sehingga di kemudian hari, saya bisa mensyukuri fase di saat ini.

 

 

Tags: , , , , , ,

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply