Sumber : Modifikasi Canva
Seperti apa, perempuan merdeka versi saya? Hmmm …, Untuk mendefinisikannya, sepertinya saya harus menyusun rangkaian cerita sebagai kronologis penemuannya.
Siap mencermati?
Ide merdeka pertama yang saya rasakan, adalah ketika bapak tanpa sungkan mengajari kami – anak-anak perempuannya, memperbaiki peralatan listrik rumah tangga sederhana. Saat bersama-sama mengecat rumah dan pagar. Termasuk waktu mengajak saya membuat furnitur fungsional untuk mengisi rumah kecil kami. Itu semua terjadi saat saya usia sekolah menengah pertama. Jadi, sejak SMP saya sudah merasa, tidak ada pekerjaan yang terlarang dilakukan seorang perempuan. Selama saya bisa dan suka mengerjakannya, it’s ok.
Sehingga di usia belia, saya sudah bisa kalau hanya membongkar setrika listrik yang elemennya aus. (dulu, setrika listrik belum otomatis seperti sekarang). Aktivitas mengecat rumah sebelum lebaran, juga biasa menjadi kegiatan menggembirakan buat kami. Walaupun akhirnya, untuk finishing tetap diserahkan kepada tukang, tidak menghapus kesan bahwa meski perempuan, kami bisa dan boleh banget mengecat rumah sendiri. Termasuk dengan membuat beberapa furnitur fungsional sendiri. Beneran, waktu itu bersama bapak, saya sudah bisa membuat meja belajar untuk bertiga (karena kami tiga bersaudara). Yang lengkap dengan rak buku di atasnya, laci di tengah meja dan lemari di bagian bawah. Komplit, kan? Jadi, walaupun pekerjaan beratnya tetap dilakukan bapak, saya ikut berperan mengukur, menandai dan memberi masukan tentang bentuk meja sesuai keinginan.
So, itu perasaan merdeka pertama buat saya.
Ide perempuan merdeka berikutnya, justru dirasakan ketika bapak menolak pilihan sekolah kejuruan wanita yang ingin saya ambil. Sebab, ternyata beliau lebih menginginkan saya bebas menentukan langkah pembelajaran setinggi mungkin, yang bisa dicapai melalui pendidikan formal. Sehingga, itulah yang saya lakukan. Masuk SMA terbaik, dan lanjut kuliah ke universitas. Bahkan ketika pilihan jurusan yang saya ambil ditentang keluarga besar – karena lokasinya di luar kota yang jauh dari rumah. Bapak juga yang menghembuskan angin kemerdekaan itu buat saya. Menurut beliau, tidak ada batas untuk saya sekolah di mana pun, selama saya bisa dan memang punya kesempatan besar buat melakukannya.
Aura merdeka yang saya peluk selanjutnya, ialah ketika mendapat amanah sebagai ASN bidang kesehatan. Yang lingkup tugasnya merambah ke banyak tempat tanpa kecuali. Maksudnya, jika ada panggilan tugas ke daerah yang sebelumnya tidak dikenal, saya harus siap. Termasuk ketika ada kasus penyakit di ujung lembah atau di daerah yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, tetap harus didatangi sebagai konsekuensi dan tanggung jawab tugas yang harus saya penuhi.
Ini yang saya sebut dengan bebas bertualang ala epidkes. 😀
Saya mendapat definisi terakhir tentang seorang perempuan merdeka, adalah ketika tergabung dalam Ibu Profesional. Menjadi perempuan yang tak melupakan kodratnya sebagai perempuan, istri dan seorang ibu.
Sehingga perempuan merdeka versi saya adalah seorang perempuan, yang meskipun memiliki sayap di pungung yang membuatnya bisa terbang ke mana saja. Walaupun memegang pedang atau senjata dahsyat di kedua tangannya – yang bisa digunakan untuk berkuasa. Namun, kakinya tetap memijak ke tanah sehingga tak akan meninggalkan tanggung jawabnya atas keluarga.
Bagaimana ide perempuan merdeka versimu?
Referensi :
Tags:
No Responses