We could never learn to be brave and patient,
if there were only joy in the world.
Helen Keller in Brainy Quote
Read more at: http://bit.ly/2w2WvhZ
Di pagi hari tadi, Adha sudah menyiapkan diri untuk latihan sepak bola usai sekolah sore nanti. Sehingga dia sudah mengenakan jersey bola di balik setelan seragam sekolahnya. Kami juga sepakat, bahwa saya akan langsung ke lapangan KPU-tempat Adha latihan sepulang bekerja nanti.
Jadi, ketika tugas kantor selesai sekitar jam 15.30 wib, saya langsung bergegas menuju ke sana. Karena jarak dari kantor saya ke lapangan tersebut hanya sekira 200 meter, saya menempuhnya dengan berjalan kaki. Cukup melelahkan memang. Apalagi, saya juga membawa berkas-berkas tugas, yang akan coba diselesaikan di rumah.
Setiba di sana, karena jadwal latihan memang dimulai jam 15.00, lapangan sudah ramai oleh para peserta. Saya melihat berkeliling, tetapi Adha tidak nampak di mana pun. Mungkin belum sampai. Karena jadwal pulang di sekolah Adha adalah jam 16.00 wib. Akhirnya saya putuskan untuk menunggu di saung yang disediakan di ujung lapangan, sambil memperhatikan anak-anak latihan.

Suasana latihan sepak bola para murid SSB Mandala
Waktu terus berlalu, Adha belum datang juga. Melihat jam tangan, sudah menunjukkan waktu pukul 16.30 wib. Tidak mungkin anak itu ada acara sampai sesore ini. Akhirnya saya putuskan menghubungi wali kelasnya melalui WA, karena di sekolahnya Adha tidak diperbolehkan membawa hape. Tetapi memang tidak ada kegiatan tambahan apa-apa.
Namun, ketika membuka hape, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dan SMS dari suami, juga dari Adha. Hmmm… Berarti dia sudah di rumah dan tidak jadi latihan. Berpikir seperti itu, kepala saya mulai pening. Emosi juga mulai meningkat. Tapi tidak adil rasanya jika tidak memberi kesempatan kepada Adha untuk menjelaskan alasannya.
Akhirnya saya telepon putra kesayangan di rumah.
“Assalamualaikum…”
“Wa’alaikumussalaam…”
“Kenapa, ga jadi latihan, Mas?” tanya saya langsung.
“Rifki-nya ga jadi latihan, Ma.” Adha memberikan alasan. Kepala saya makin pening mendengarnya. Kenapa dia ga jadi latihan hanya karena temannya batal latihan. Bukan disebabkan kondisinya sendiri.
“Lho, hubungannya ama Rifki, apa? Kan yang mau latihan sepak bola, Mamas. Bukan orang lain?” Saya bertanya ingin memastikan.
“Ya, mas kan ga ada teman buat pergi ke sananya.”
“Memang kamu ga bisa berangkat sendiri?”
“Mas ga berani, belum apal tempatnya. Jadi takut nyasar. Mas juga takut, Mama ga jadi jemput. Maaf, Ma…” Jelasnya sambil meminta maaf.
“Kalo ga berani pergi sendiri, kan Mamas bisa minta ke TU untuk telepon Mama, supaya dijemput ke sekolah.”
“Mas kan belum kenal ama TU nya. Jadi malu. Maaf, ya Ma…”
Hmmm… Saya menghela nafas panjang. Marah, kecewa, lelah dan sedih bertumpuk jadi satu. Benar-benar butuh kesabaran untuk bisa berpikir jernih saat ini. Karena, untuk memenuhi janji menemani Adha latihan, saya langsung menuju ke sini seusai dari kantor, berjalan kaki. Lengkap dengan semua bawaan yang beratnya mencapai 20 kg. Jadi, bisa dibayangkan pegalnya.
Saya marah, karena dia masih tergantung dengan keberadaan teman-temannya, bukan karena dia memang ingin melakukannya. Saya juga kecewa, Adha masih belum berani memanfaatkan fasilitas dan meminta bantuan orang lain.
Tetapi, kemarahan dan kekecewaan tidak akan menghasilkan perbaikan apa-apa. Jadi, untuk meredakan emosi yang memang sedang melanda, saya mengucap istighfar berulang-ulang dan terus menerus. Sepanjang perjalanan dari lapangan sampai ke rumah. Sehingga akhirnya, kemarahan saya mereda dan mulai bisa berpikir jernih menelaah semuanya.
Kalau dipikir lagi, sebenarnya Adha tidak seratus persen bersalah. Karena dia hanya berpikir dan bertindak sesuai level pemikirannya sendiri. Dan sedikit banyak, saya dan suami juga ikut andil dalam membuat kepercayaan diri Adha, belum berkembang optimal.
Sampai di rumah, ternyata tak ada yang menjawab salam saya. Saya melongok ke kamar Adha. Ternyata dia sedang tertidur pulas. Sampai-sampai tak mendengar suara saya membuka pintu kamarnya. Menyaksikannya tidur seperti itu, saya sedikit menyesal tadi amat marah padanya. Seharusnya saya mempertimbangkan juga kemungkinan lelahnya Adha setelah beraktivitas full-day di sekolahnya. Meskipun saya ingin dia tumbuh dan punya komitmen tinggi di atas rata-rata, saya tetap harus mencari cara yang nyaman untuk Adha. Karena hasil pelajaran antara yang terpaksa dengan yang nyaman melakukannya, tentu berbeda.
Hmmm… Saya harus bisa menemukan cara untuk menumbuhkan semangat pantang menyerah dan berkomitmen tinggi dalam berkegiatan untuk Adha secepatnya. Semoga Allah SWT memberikan!bimbing saya.
#Tantangan10Hari
#Level7
#KuliahBunsayIIP
#BintangKeluarga
No Responses