Bila ada yang salah dalam fitrah seksualitas seseorang, harus dilihat pendidikan awalnya, saat semuanya bermula, dan juga keterlibatan kedua orang tuanya dalam setiap tahap perkembangan hidupnya.
Karena, setiap orang dewasa yang bermasala baik dalam emosional maupun perkara gender. biasanya adalah mereka yang belum selesai dengan masalahnya di masa kecil.
~ Alifadha Pradana ~
Karena hari ini tidak ada diskusi dengan alasan GFOS (Gadget Free On Sunday), saya akhirnya mengisi tantangan dengan mengilas balik semua yang sudah saya dan suami lakukan, dalam membersamai buah hati berkenaan dengan fitrah seksualitas ini. Dan hati saya, berbuncah bahagia saat memeriksa semua peristiwa yang pernah ada dan mengetahui bahwa tindakan kami dalam menyelesaikannya, ternyata benar adanya.
Dua anak kami adalah laki-laki. Dan meskipun yang pertama telah tiada, saya tetap mensyukuri setiap waktu yang kami lalui bersamanya. Dan bahwa putra sulung kami itu pun, tumbuh sesuai fitrah seksualitasnya. Begitu pula dengan putra kedua kami. Di usia menjelang 12 tahun di 22 Januari nanti, sudah tahu dan sadar bahwa dia laki-laki, yang berbeda dengan saya yang perempuan.
Kesadaran ini penting. Mengingat bahwa anak-anak kami itu begitu ‘cantik’ saat kecil. Ya, cantik. Dengan rambut agak gondrong, wajah mungil dan bulu mata lentik, mereka berdua bisa dikatakan cantik. Sehingga terkadang orang yang berpapasan bisa salah menduga, dan memanggil mereka dengan sebutan ‘neng’ (panggilan Sunda untuk anak perempuan). Saya otomatis memprotes dan tidak bosan bosannya menjelaskan, bahwa anak kami laki-laki. Sampai akhirnya, saat usia TK mereka memprotes sendiri panggilan tersebut, dengan selalu meminta cukur rambut, saat mulai panjang.
Gambar : Koleksi Pribadi
Selain panggilan, ternyata ada lagi yang wajib kita waspadai terhadap kesadaran fitrah seksualitas anak ini, yaitu campur tangan tetangga terhadap penanaman pemahaman anak. Karena, saya ingat pernah mengingatkan tetangga yang mendandani anak saya seperti perempuan, dengan memakaikannya jepit dan ikat rambut yang lucu. Awalnya saya tidak menyangka ini berbahaya, sampai saat anak yang kedua selalu menunjuk jepit dan ikat rambut, ketika saya ajak berbelanja. Tentu saja saya terkejut. Namun saya bersyukur karena mengambil penyelesaian dengan menjelaskan intens kepada anak-anak tentang pemahaman fitrah seksualitas ini. Mana yang boleh dan tidak dilakukan sebagai anak laki-laki. Dan Alhamdulillah akhirnya mereka sadar bahwa mereka anak laki-laki yang gagah dan ganteng seperti bapaknya, harus tegas saat berbicara namun tetap lemah lembut kepada lawan jenis dan orang tua.
PR saya memang masih banyak, menjelang anak kedua saya menjadi baligh. Tetapi dengan kedekatan kami terhadap Adha, mengurangi banyak kekhawatiran terhadap pengaruh buruk orang lain dan lingkungan. Apalagi, saya pun pernah membahas bersama Adha mengenai proses Aqil Baligh ini, karena Suami yang sebenarnya lebih kompeten menjelaskan, meminta saya melakukannya mewakili beliau. Tidak masalah. Karena yang penting Adha mendapatkan informasi yang benar dari sumber yang benar, yaitu orang tuanya. Sehingga kami berharap, bila untuk issue sesensitif ini Adha berani berdiskusi dengan saya atau suami, InshaaAllah untuk hal lainnya dia tak akan sungkan lagi bertanya pada kami. Semoga…
Sumber Referensi :
1. Perjalanan hidup pribadi bersama anak-anak
2. Beberapa browsingan bebas mengenai fitrah seksualitas
3. Materi di Institut Ibu Profesional
#Tantangan10Hari
#Level11
#KuliahBunsayIIP
#LearningByTeaching
No Responses