Yang membuat banyak orang enggan untuk kreatif adalah pikiran bahwa kreativitas akan menyulitkan diri sendiri.
Sehingga lebih suka melakukan apa adanya bahkan terkadang membatasi diri.
~ Alifadha Pradana ~
Pagi ini ada yang mengejutkan saya, akun Facebook saya menampilkan Bahasa Indonesia. Dan ini benar-benar aneh. Karena saya memang tak pernah menyetel bahasa aplikasi dalam Bahasa Indonesia. Bukan tidak cinta Bahasa Indonesia atau bermaksud menyombongkan diri, tetapi saya lebih familiar dengan bahas asli setelan aplikasinya (untuk aplikasi dalam Bahasa Inggris). Dan baru hari ini saya sadar, bahwa ternyata kebiasaan inilah yang membuat saya lebih mudah memahami, membaca narasi atau tulisan dalam bahasa Inggris.
Tidak mudah memang, bahkan cenderung ribet. Bagaimana, tidak? Bila ada masalah terhadap aplikasi, saya harus membaca panduan pemulihannya dalam Bahasa Inggris. Dan, jika ada kata-kata yang tidak saya pahami – sementara itu penting dalam tahapan perbaikan sistem, maka saya harus mencari terjemahannya. Tetapi kabar baiknya, dengan kerepotan itu menambah perbendaharaan kosakata Bahasa Inggris dalam kepala saya. Dan itu bukan hal kecil.
Dan saya berani jamin, sangat sedikit orang yang rela berpayah-payah melakukan seperti itu, sementara kemudahan dan kepraktisan ada di depannya dan lebih realistis untuk dipilih. Tapi, saya memang tidak ingin mencari yang mudah kok. Jika dengan cara ini saya bisa mengembangkan kemampuan bahasa Inggris secara otodidak, kenapa tidak. Buat saya lebih masuk akal untuk dilakukan.
Hal yang sama juga berlaku untuk yang lain. Di mana orang lebih suka memilih yang mudah dan praktis dibanding cara lain yang menuntut kreativitas dan cenderung merepotkan, meskipun akan meningkatkan banyak keahlian lain. Seperti langsung membuang apa saja benda yang sudah tidak terpakai, tanpa mempertimbangkan lebih dahulu untuk memodifikasinya menjadi barang lain dengan manfaat berbeda. Atau hanya melakukan sesuatu dengan cara yang sama bertahun-tahun lamanya. Tanpa pernah memikirkan, bahwa masih banyak cara lain untuk melakukannya.
Gambar : Dokumen Pribadi
Bahkan, konsep ini ternyata berlaku juga di sekolah Adha. Sekolah yang selalu saya anggap kreatif dan inovatif, memilih mengajarkan beberapa cara penyelesaian kasus dengan aturan yang baku tanpa menyediakan sisi pengembangan. Padahal, bahkan matematika pun punya beberapa pilihan pengerjaan soal.
Saya ingat banget, saat beberapa waktu lalu, menemani Adha mengerjakan latihan matematika. Sesuai petunjuk penyelesaian soal itu bisa dilakukan dengan cara A, B dan C. Namun, entah kenapa gurunya hanya mengkhususkan penyelesaian dengan cara A Dan menolak cara yang lain. Dan Adha, yang lebih memilih patuh pada gurunya, terpaksa mengabaikan sisi kreativitas dari cara penyelesaian soal itu.
Jadi, saya kemudian teringat materi yang diberikan Bu Septi di awal. Bahwa sekolah termasuk tempat yang bisa mematikan kreativitas anak-anak. Dan saya baru menyadari, itu benar adanya…
Sumber referensi :
✍ Gambar-gambar ide kreatif di beberapa akun Facebook
✍ Pengalaman pribadi tentang iide kreatif
#tantangan10hari
#level9
#kuliahbunsayiip
#thinkcreative
No Responses